Oligarki bermain di dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI periode 1987—1997 Palar Batubara meluncurkan buku biografinya berjudul 75 Tahun Bang Palar Batubara, Jiwa Sang Patriot yang berisi buah pemikirannya atas perjalanan bangsa Indonesia di aula kompleks Perumahan Anggota DPR RI, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu.

Acara peluncuran buku tersebut juga dihelat bersamaan dengan acara syukuran 75 tahun usia Sekretaris Dewan Kehormatan DPP Persatuan Alumni (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).

"Saya menulis buku ini dalam rangka memberikan kontribusi kepada generasi yang akan datang. Saya telah mengalami mulai Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, sampai kini. Jadi, saya ngikutin perjalan-perjalanan bangsa ini," kata Palar ditemui usai acara.

Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu menyinggung soal dinamika pascareformasi yang dinilainya telah melenceng dari akar bangsa Indonesia yang diletakkan oleh para pendiri bangsa dan lantas dinodai oleh segelintir kelompok.

"Jadi, oligarki bermain di dalam kancah perpolitikan di Indonesia," ucapnya.

Palar lantas menyoal bagaimana hal tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia dan sistem partai politik di Tanah Air.

Padahal, kata dia, partai politik sedianya menjadi institusi untuk mencetak kader-kader bersih yang akan mengisi lembaga eksekutif hingga legislatif.

"Perubahan sistem pemilu kita tertutup menjadi terbuka, ini membuat semua jadi seolah-olah bangsa ini cukup pragmatis saja, semua instan. Nah, ini yang sangat berbahaya untuk bangsa ini ke depan," ujarnya.

Baca juga: Menguak potensi kebangkitan partai ekstrem kanan di pemilu Eropa 2024
Baca juga: Pengamat duga maraknya aksi untuk kacaukan perpolitikan nasional

Sementara itu, penulis buku Agung Nugroho menuturkan bahwa buku itu merangkum sejumlah sorotan pemikiran Palar Batubara yang dibalut menjadi sebuah biografi, termasuk memuat pula soal keresahan-keresahannya atas fenomena politik kekinian.

"Keresahan-keresahan beliau pada usia 75 tahun sekarang menghadapi fenomena politik kekinian sangat memprihatinkan," tuturnya.

Agung mencontohkan salah satu buah pemikiran Palar dalam buku setebal 200 halaman tersebut, yakni soal mitigasi demokrasi.

"Mungkin di dalam term politik ini suatu yang baru, diksi yang baru. Jadi, ternyata demokrasi sangat rawan terhadap bencana, bencana dari dalam maupun dari luar karena itu harus ada mitigasi seperti memitigasi bencana," katanya.

Terkait dengan hal tersebut, lanjut dia, Palar mengusulkan agar sistem pemilu yang saat ini proporsional terbuka dikembalikan lagi menjadi tertutup.

"Partai politik tidak hanya menjadi administrator, tetapi partai politik memiliki semacam anonisasi penyiapan kader-kader di sekolah-sekolah partai di internal untuk melahirkan kader-kader yang memang sudah teruji secara ideologi, memiliki rekam jejak politik yang bagus dan tidak ujuk-ujuk. Ini keresahan beliau pemimpin yang ujuk-ujuk," kata dia.

Pada kesempatan tersebut, turut hadir sejumlah pejabat publik dan tokoh aktivis, di antaranya mantan Menteri Transmigrasi Siswono Yudo Husodo, mantan Menteri Tenaga Kerja Theo Sambuaga, dan mantan Duta Besar RI untuk Mesir Helmy Fauzi,

Hadir pula mantan Menteri Kominfo Rudiantara, budayawan sekaligus pengamat politik Eros Djarot, aktivis senior Hariman Siregar, aktor senior Roy Marten, hingga para kader GMNI.

Wakil Ketua Umum DPP Persatuan Alumni (PA) GMNI Ugik Kurniadi, Sekjen DPP PA GMNI Abdy Yuhana, dan Sekretaris Wantimpres Ganjar Razuni yang menjadi pembicara dalam sesi diskusi bedah buku tersebut.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024